Yang tadinya gak doyan-doyan amat minum kopi, tiba-tiba jadi mampir coffee shop dan kudu mesti harus foto #cupsinframe lengkap dengan latte art, kacamata, notebook, dan jangan lupa, fit that nice kicks too in the frame.
Yang tadinya cuma punya sepatu satu, dipake setiap hari sampai rusak, baru beli lagi, sekarang punya minimal tiga sneakers dari brand yang berbeda dengan tiga colorways yang berbeda. Beberapa memang menemukan kecintaan baru, beberapa kalau digali paham apa enggak, well, gak juga sih, tapi kan Yeezy broo yang penting Yeezy broo. Hidup #TeamCozy!
Yang tadinya turnover restaurant cepat. Dari duduk sampai selesai 1 jam, sekarang menjadi 1.5 jam. Ekstra setengah jam untuk foto yang cakep buat #foodandflatlay dan jangan lupa Boomerang massal sebelum pulang.
Yang tadinya travelling untuk refreshing, sekarang travelling untuk bikin konten. Yang tadinya mencari destinasi yang tenang, sekarang mencari destinasi yang Instagenic. Kali-kali aja difeature #beautifuldestinations bisa beken dalam semalam.
Yang tadinya ibadah mah ibadah aja, sekarang kalau gak ngepost foto ayat yang tertulis di roti perjamuan kudus atau quote yang terpampang di screen berasa kurang lengkap ibadahnya.
Yang tadinya makan mah makan aja, sekarang mulai diperhadapkan pada keputusan tersulit sepanjang masa: pilih menu yang cantik apa menu yang enak? Karena yang enak belum tentu #foodporn sementara yang #foodporn belum tentu enak. Hehe.
Apa yang udah pasti enak?
Nyinyir. Kaya gua barusan. Haha. Tapi coba gua kasih perspektif lain.
Bisa jadi, bocah yang doyan moto kopi dan foodie foodie itu akhirnya nemu passion mereka di fotografi, diseriusin dan the rest is history. They make their mark as food photographer.
Bisa jadi, kecintaan baru pada sneakers ini malah menjadi mata pencaharian baru yang menghidupi dia dan keluarga muda nya. Sebuah breakthrough yang sudah sejak lama dia usahakan. Semua berawal dari satu teman yang minta dia bantu nyariin Yeezy yang serupa dengan koleksi dia.
Bisa jadi, justru foto foto itu yang bikin si restoran dikenal di social media, menjadi viral dan turnover yang melambat ternyata malah ditukar dengan keuntungan jangka panjang.
Bisa jadi, sang Instatraveler berujung mengeksplor berbagai destinasi wisata Indonesia yang eksotis. Dia pun ditunjuk menjadi influencer yang berkontribusi menambah minat turis mancanegara untuk melancong ke Indonesia.
Bisa jadi, teman kita yang mendadak rohis itu justru sedang melalui masa sulit dalam hidupnya. Postingannya adalah satu dari sekian banyak usaha dia untuk mengisi kesehariannya dengan harapan, doa dan pemikiran positif.
Instagram begitu banyak mengubah perilaku keseharian kita. Tapi yang lebih berbahaya adalah ketika dia menggerogoti pola pikir kita. Gua mau ngobrolin ini sebentar. Selalu ada dua sisi dari sebuah koin. Sebaik-baiknya atau sejelek-jeleknya Instagram mengubah lo dan gua, kendalinya ada di masing-masing individu.
“Instagram kayanya isinya orang kaya semua ya?”
Gua paham banget kenapa komentar ini muncul. Tapi gini … listen from someone who’s been (accidentally) in the so-called-influencer shoe for the past few years. Yang mencipta akan selalu berusaha memberikan konten keren dan gak akan berhenti untuk membuat konten yang lebih baik lagi. Dunia keras Bung, tidak ada ruang untuk konten yang B aja. Apalagi dengan algoritma Instagram yang baru. Konten yang B aja akan cepat sekali kena seleksi algoritma. Nah, yang menikmati harus bisa mengkonsumsi dengan kesadaran bahwa dunia dengan awalan @ itu diciptakan bukan untuk dinikmati at face value.
Betul, gallery sang Travel Influencers yang diisi perjalanan di 5 benua, bukan berarti dia menjalani itu setiap hari. Bisa jadi dia baru ngepost foto travelling itu di coffee shop deket rumah lo, tapi dia harus mencitrakannya seperti itu karena dia berkomitmen pada tema, konsep, atau personal brandingnya. Copy paste konsep yang sama dengan si Fashion Blogger, si Food Blogger, etc.
Be wise. In creating content, but more importantly in consuming.
Penting untuk bisa sadar diri. Untuk melek apakah perubahan di dalam diri lo cenderung ke arah yang baik atau justru sebaliknya. In my case, gua memilih rehat dari Ruby sang food photographer yang dikenal di akun @captainruby dan kembali ke fitrahnya Ruby sang pengusaha yang berkarya lewat banyak hal untuk Indonesia. Photography is just one of them. Postingan di akun itu sekarang bisa dihitung pake satu tangan dalam seminggu terakhir. Wait, satu jari ding.
Di akun Instagram @fellexandro lah muncul berbagai inspirasi, ide, eksperimen, termasuk tulisan gua soal kesantunan ber-email yang sempat rame kemarin. Sekitar 6–7 tahun fokus di food membuat gua perlu menggali sejatinya gua yang lumayan jarang diekspresikan. Education, life lessons, financial literacy, business, selling. Topics I haven’t write before. I’m loving it so far. I could have much less following, but much more meaningful conversations. To those who DM-ed / shared my article / wrote a comment, you know who you are.
Sampai juga kita di puncak pemikiran gua. Inilah indahnya Instagram (or any social media for that matter). Gua sadar hubungan gua mengarah unproductive di akun Instagram yang satu. Secara sadar gua membuat perubahan dan justru menemukan joy & meaning di akun Instagram yang lain. Satu platform, satu orang yang sama, dua efek yang berbeda.
Sebaik-baiknya atau sejelek-jeleknya Instagram mengubah lo dan gua, kendalinya ada di masing-masing individu.
Cheers,
7 Responses
You have too many platform to write on, dispose ur wordpress, hook this domain to medium, much more pleasing reading experience.
I would do that if Medium can connect to custom domain. But they can’t. But at the end, for me its not about centralisation. It’s about reach, whichever the platform is. Both WordPress and Medium has their own separate crowd that I’d like to reach. As for the personal blog (this one) it is more for branding purpose.
I have come to the point like I previously told in your another post. At least for me, Instagram (and then the other social media) has become something that’s too hard to handle for me right now.
This is me admitting my defeat, and taking my bow out of social media.
It didn’t change my way of living in some sense, I still the same dude that only have 3 shoes and wear the same color or shirt day in day out during the week.
But it did distract me. A lot. And I decided to change the apps that I open and cut myself out from social media feed. Switching from facebook and instagram to quora and medium. On uber ride, I read book. If I can’t read, I have a good conversation with the driver, I even started a blog telling their stories.
I really admire how you can be aware and control your behavior toward social media. One day or another, I hoped we can have a good conversation 🙂
Have a good day.
Nice one rub! 🙂
Thanks Ben!
Love reading your thoughts Man. Helps me grow and learn.
My Instagram scrolling in last few years are rare. Partly because of my phone storage sucks it couldnt handle updates, partly because I am not ready to see “oh-so-good-life” the others “seem” to have.
Point is, I decided not to indulge on it too much, as some people do. I work on my own stuff instead – whereas if the grass on the other side looks greener, it is time to cultivate mine :))
Blessings in disguise. Maybe you don’t want to get a new phone with better storage because your subconscious wants to save you from the unnecessaries. I somehow feel, in certain cases especially if one’s work has nothing to do with social media, might as well not using it, for the better.
And kudos on cultivating your own grass 😉